Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Filsafat dan Sejarah Sains : Pengetahuan Pada Zaman Modern

Daftar Isi [Tampilkan]

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah pemikiran para filsuf oleh dunia barat telah dibagi menjadi tiga periode, yaitu pertama, zaman kuno yang terbagi dua periode, yaitu zaman pra-Socrates dan pasca-Socrates, di mana pada zaman ini terdapat kemajuan manusia. Kedua, zaman pertengahan, yakni zaman di mana alam pikiran dikungkung atau didominasi oleh gereja. Zaman ini telah menunjukkan kemunduran pemikiran manusia, kebebasan pemikiran sangat terbatas, perkembangan sains amat sulit dan perkembangan filsafat tersendat-sendat. Ketiga, zaman modern, yakni zaman sesudah abad pertengahan berakhir hingga sekarang. 

Namun batas yang jelas tentang kapan abad pertengahan berakhir sulit ditentukan. Begitupun juga dengan zaman modern itu sendiri, masih terbagi-bagi lagi, yakni zaman Renaissance (14-17 M), zaman modern (17-19 M) dan zaman kontemporer (abad 20 dan seterusnya). Jadi yang dimaksud zaman modern pada makalah ini adalah zaman modern pada abad 17-19 M yang membicarakan tentang sumber pengetahuan. 

Terlepas dari pembatasan itu, yang jelas zaman modern sangat dinanti-nantikan oleh banyak pemikir manakala mereka mengingat zaman kuno ketika peradaban begitu bebas, pemikiran tidak dikekang oleh tekanan-tekanan di luar dirinya. Kondisi semacam itulah yang hendak dihidupkan kembali pada zaman modern. Kebebasan berpikir sebagai periode yang dilawankan dengan periode abad pertengahan. 

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Modern

Filsafat modern lahir melalui proses panjang yang berkesinambungan, dimulai dengan munculnya abad Renaissance. Istilah ini diambil dari bahasa Perancis yang berarti kelahiran kembali. Karena itu, disebut juga dengan zaman pencerahan (Aufklarung). Pencerahan kembali mengandung arti “munculnya kesadaran baru manusia” terhadap dirinya (yang selama ini dikungkung oleh gereja). Manusia menyadari bahwa dialah yang menjadi pusat dunianya bukan lagi sebagai objek dunianya. 

Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern ini sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman Renaissance. Awal mula dari suatu masa baru ditandai oleh usaha besar dari Descartes untuk memberikan kepada filsafat suatu bangunan yang baru. Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern). 

Renaissance lebih dari sekedar kebangkitan dunia modern. Renaissance ialah periode penemuan manusia dan dunia, merupakan periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Zaman ini juga disebut sebagai zaman Humanisme. Maksud ungkapan ini ialah manusia diangkat dari Abad Pertengahan yang mana manusia dianggap kurang dihargai sebagai manusia. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran gereja (Kristen), bukan menurut ukuran yang dibuat manusia. Humanisme menghendaki ukuran haruslah manusia. Karena manusia mempunyai kemampuan berpikir, maka humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan mengatur dunia. 

Jadi, zaman Modern filsafat didahului oleh zaman Renaissance. Sebenarnya secara esensial zaman Renaissance itu, dalam filsafat, tidak berbeda dari zaman modern. Ciri-ciri filsafat Renaissance ada pada filsafat modern. Tokoh pertama filsafat modern adalah Descartes. Pada filsafat kita menemukan ciri-ciri Renaissance tersebut. Ciri itu antara lain ialah menghidupkan kembali rasionalisme Yunani (Renaissance), individualisme, humanisme, lepas dari pengaruh agama dan lain-lain. 

Filsafat modern menampakkan karakteristiknya dengan lahirnya aneka aliran-aliran besar filsafat, yang diawali oleh rasionalisme dan empirisme. Selain kedua aliran itu, juga akan diketengahkan aliran-aliran besar lainnya yang ikut berperan mengisi lembaran filsafat modern, yaitu idealisme, materialisme, positivisme, fenomenologi, eksistensialisme dan pragmatisme. 

Filsafat abad modern pada pokoknya dimulai dengan 3 aliran yaitu: 

  1. Aliran rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650 M) 
  2. Aliran empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1210-1292 M) 
  3. Aliran kritisisme dengan tokohnya Immanuel Kant (1724-1804 M) 

Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio; kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu. 

B. Aliran-Aliran yang Muncul pada Zaman Modern beserta Tokoh-Tokohnya serta Pemikirannya

1. Rasionalisme

Kata rasionalisme terdiri dari dua suku kata, yaitu “rasio” yang berarti akal atau pikiran, dan “isme” yang berarti paham atau pendapat. Rasionalisme ialah suatu paham yang berpendapat bahwa “kebenaran yang tertinggi terletak dan bersumber dari akal manusia”. Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran ini, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. 

Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang-benderang yang disebut Ideas Claires et Distinctes (pikiran yang terang-benderang dan terpilah-pilah). Pikiran yang terang-benderang ini merupakan pemberian Tuhan sebelum orang dilahirkan (idea innatae = ide bawaan). Sebagai pemberian Tuhan, maka tak mungkin tak benar. Oleh karena itu, rasio dipandang kecuali sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan/kebenaran, juga sekaligus sebagai sumber pengetahuan/kebenaran. Adapun pengetahuan indera dianggap sering menyesatkan. 

Aliran rasionalisme ada dua macam yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama aliran rasionalisme adalah lawan dari autoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Sedangkan dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering berguna dalam menyusun teori pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan jalan mengetahui objek empirisme, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir, pengetahuan dari empirisme dianggap sering menyesatkan. Adapun alat berpikir adalah kaidah-kaidah yang logis. 

Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles), dan juga beberapa tokoh sesudah itu. Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme ialah Descartes yang dibicarakan setelah ini. Bersamaan dengan itu akan dibicarakan juga tokoh besar rasionalisme lainnya, yaitu Baruch Spinoza dan Leibniz. Setelah periode ini rasionalisme dikembangkan secara sempurna oleh Hegel yang kemudian terkenal sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah. 

Di dalam karangan ini rasionalisme dilihat terutama sebagai reaksi terhadap dominasi gereja pada Abad Pertengahan Kristen di Barat. Sebagaimana nanti dapat dilihat, pada konteks itulah kepentingan Descartes dibicarakan agak panjang lebar di sini. Descartes lebih diperhatikan karena ada keistimewaan padanya, keberaniannya melepaskan diri dari kungkungan yang mengurung filsuf Abad Pertengahan. 

Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes. Tentu saja pernyataan ini bermaksud menyederhanakan permasalahan. Kata modern di sini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan, dengan corak filsafat pada Abad Pertengahan Kristen. Corak utama filsafat modern yang dimaksud di sini ialah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani Kuno. Gagasan itu, disertai oleh argumen yang kuat, diajukan oleh Descartes. Oleh karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak Renaissance. Apa yang lahir kembali itu?

Ya, rasionalisme Yunani itu. Yang harus diamati di sini ialah apakah konsekuensi rasionalisme pada masa Yunani akan terulang kembali. 

Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand Russel, anggapan itu memang benar. Kata “Bapak” diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada Zaman Modern itu yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dialah orang pertama di akhir Abad Pertengahan itu yang menyusun argumentasi yang kuat, yang distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang lainnya. 

Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada Abad Pertengahan, yang tergambar dalam ungkapan credo ut intelligam itu, telah membuat para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan pendapat tokoh Gereja. Descartes-lah filsuf yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang dicengkeram oleh iman Abad Pertengahan. Descartes telah lama merasa tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban itu. Amat lamban terutama bila dibandingkan dengan perkembangan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. la ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen. Ia ingin filsafat dikembalikan kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia ingin menghidupkan kembali rasionalisme Yunani. 

Tokoh Rasionalisme dan Pemikirannya

a. Rene Descartes (1596-1650)

Peletak fondasi aliran ini ialah Rene Descastes yang digelar sebagai “Bapak filsafat mo­dern”. Descartes berasal dari Perancis, lahir tahun 1596 di sebuah kota bernama La Haye, dan wafat tahun 1650 di Stockholm. Semboyan dari aliran ini ialah ungkapan Descartes yang berbunyi: Cogito ergo sum (Saya berpikir maka Saya ada). 

Dari ungkapan sederhana ini, dapat diambil beberapa rumusan, sebagai berikut: 

  1. Eksistensi manusia yang paling sempurna ialah rasionya, sehingga rasio berperan sebagai “pengenal dirinya” sesuai dengan koherensi antara berpikir dan berada. Artinya keberadaan manusia terwujud/terkonsep setelah dia memikirkan dirinya. 
  2. Dengan rasio, manusia berhasil menemukan kesan (pengetahuan baru) tentang dirinya yang tidak atau kurang diketahui sebelumnya, kecuali melalui sumber lain, yaitu kitab suci. 
  3. Rasio tidak hanya sebagai penemu kesan (pengetahuan dan kebenaran) melainkan kebenaran/pengetahuan hanyalah yang diperoleh melalui rasio tersebut. 

Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Inilah langkah pertama metode cogito tersebut. Dia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman dengan roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (jaga). Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata, “Aku dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku bermimpi persis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur, sedang bermimpi”. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi (sedang mimpi) dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi. Siapa yang dapat menjamin kejadian-kejadian waktu jaga (yang kita katakan sebagai jaga ini) sebagaimana kita alami adalah kejadian-kejadian yang sebenarnya. 

Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh aku berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Sekarang Descartes telah menemukan dasar (basis) bagi filsafatnya. Basis itu bukan filsafat Plato, bukan filsafat Abad Pertengahan, bukan agama atau yang lainnya. Fondasi itu ialah Aku yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas dijadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Di sini kelihatanlah sifat subjektif, individualis, dan humanis dalam filsafat Descartes. Sifat-sifat inilah, nantinya, yang mendorong perkembangan filsafat pada Abad Modern 

b. Spinoza (1632-1677) 

Nama lengkapnya ialah Baruch de Spinoza, dalam bahasa Latin disebut Benedictus dan dalam bahasa Portugis dengan Bento. Spinoza lahir di Amesterdam, Belanda tahun 1632 dan wafat tahun 1677 di Den Haag. Sebagai filsuf pengikut rasionalisme, Spinoza sangat tertarik kepada Descartes. Kecuali ahli dalam bidang filsafat, filsuf ini juga ahli dalam bidang politik, teologia dan etika. 

Spinoza mencita-citakan suatu sistem berdasarkan rasionalisme, untuk mencapai kebahagiaan bagi manusia. Menurutnya aturan dan hukum yang terdapat pada semua hal tidak lain dari aturan dan hukum yang terdapat pada idea. Sebagai dasar segala-galanya harus diterima sesuatu yang tak terdasarkan kepada yang lain, jadi yang mutlak. 

Berbeda dengan Descartes, sesuai dengan semboyannya “Deus sen Natura” (Tuhan atau alam), Spinoza adalah seorang rasionalis yang mistik. Menurut Spinoza, seluruh kenyataan merupakan kesatuan, dan kesatuan sebagai satu-satunya substansi sama dengan Tuhan atau alam. Segala sesuatu termuat dalam Tuhan-alam. Tuhan sama dengan aturan kosmos, Kehendak Tuhan berarti sama dengan kehendak alam, sehingga hukum-hukum alam sama dengan kehen­dak Tuhan. 

c. Leibniz (1646-1716) 

Gottfried Eilhelm von Leibniz adalah filsuf Jerman, pusat metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad. Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi, yaitu prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. 

Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak, ia menyebut substansi-substansi itu monad.Setiap monad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu. 

2. Empirisme

Istilah empirisme berasal dari kata empiri yang berarti indra atau alat indra, dan ditambah akhiran isme, sebagai suatu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan/kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan diperoleh/bersumber dari panca indra manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia. 

Untuk memahami inti filsafat empirisme perlu memahami dulu dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori makna dan teori tentang pengetahuan. 

Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada Abad Pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat di dalam bukunya, An Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman; yang dimaksud dengan pengalaman di sini ialah pengalaman inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari obervasi yang kita lakukan terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner sense (pengindera dalam). 

Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “setiap kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a posteriori. 

Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobbes (1588-1679), namun mengalami sistimatisasi pada dua tokoh berikutnya, yaitu John Locke dan David Hume. 

Tokoh Empirisme dan Pemikirannya

a. Francis Bacon (1210-1292)

Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Jadi pemikiran Francis Bacon ini sangat bertentangan dengan pemikiran para filosof aliran rasionalis. 

b. Thomas Hobbes (1588-1679)

Thomas Hobbes berpendapat bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data-data inderawi belaka. 

c. John Locke (1632-1704)

John Locke adalah filsuf Inggris. la lahir di Wrington, Somersetshire, pada tahun 1632. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford, mempelajari agama Kristen. Filsafat Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descartes. Ia juga menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman; Jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason). la hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi. 

Buku Locke, Essay Concerning Human Understanding (1689), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahnan datang dari pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea atau konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato. Dengan kata lain, Locke menolak adanya innate idea; termasuk apa yang diajarkan oleh Descartes, Clear and distinc idea. Adequate idea dari Spinoza, truth of reason dari Leibniz, semuanya ditolaknya. Yang innate (bawaan) itu tidak ada. 

Segala sesuatu berasal dari pengalaman indrawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi (konsep tabula rasa). Dengan demikian, John Locke menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi) dengan penga­laman lahiriah (yang bersumber dari empiris). Ungkapan yang sering digunakan ialah: Exprience, in that all knowledge is founded (Pengalaman, semua pengetahuan berdasarkan pengalaman). 

d. David Hume (1711-1776)

Tokoh lain ialah David Hume (1711-1776) pelanjut kajian Locke. Home lahir di Edinburg, Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Hume seorang yang menguasai hukum, sastra dan filsafat. Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang sangat singkat, yaitu: I never catch my self at any time with out a perception (Saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya) 

Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa, “seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression) dan impression inilah sebagai bahan dari ilmu. 

3. Kritisisme

Pendirian aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber pengenalan atau pengetahuan, sedang empirisme sebaliknya berpendirian bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut. 

Aliran ini mencoba untuk memadukan perbedaan pendapat kedua aliran tersebut dengan tokohnya adalah Immanuel Kant (1724-1804). Ia mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. 

Untuk menghilangkan pertentangan di antara rasionalisme dan empirisme, Kant mengadakan pemaduan di antara dua aliran ini dalam hal perumusan kebenaran. Dalam kaitan ini Kant mengatakan: 

Pengetahuan merupakan hasil kerjasama dua unsur; pengalaman dan kearifan akal budi. Pengalaman inderawi merupakan unsur a posteriori (yang datang kemudian), sedangkan akal budi meru­pakan unsur a priori (yang datang lebih dahulu). 

Kant mengkritik empirisme dan rasionalisme, karena keduanya hanya mementingkan satu dari dua unsur ini, sehingga hasilnya setiap kali berat sebelah. Padahal, katanya, pengetahuan selalu merupakan sintesis. Untuk menekan pertentangan itu Kant mengadakan tiga pembedaan perumusan kebenaran, yaitu akal budi (verstand), rasio (vernunft) dan pengalaman inderawi. 

4. Idealisme

Terminologi idealisme berasal dari kata idea yang berarti gambaran atau pemikiran, dan isme yang berarti paham atau pendapat. Idealisme ialah suatu pandangan dunia atau metafisika yang menyatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran atau jiwa. Atau bisa disebut dengan aliran filsafat yang menjelaskan bahwa kebenaran/pengetahuan sesungguhnya bukan bersumber dari rasio atau empiris, melainkan dari gambaran manusia tentang suatu pengamatan. 

Tokoh Idealisme dan Pemikirannya

a. J. G. Fichte (1762-1914)

Fichte adalah tokoh idealisme subyektif, yaitu pandangan bahwa sumber pengenalan/pengetahuan bukanlah rasio teoritis atau praktis seperti kata Immanuel Kant, melainkan pada aktivitas ego. Pemikirannya didasarkan pada konsep ego mutlak; yang menemukan dan meneruskan pengertian-pengertian tentang obyek; ego tidak hanya se­bagai “penemu”, melainkan kata Fichte sekaligus sebagai yang “menciptakan benda-benda” (objek). Dengan demikian, peran manusia sebagai subjek sangat dominan di dalam menggagaskan sesuatu. 

b. F. W. J. Schelling (1775-1854)

Schelling adalah tokoh idealisme obyektif sebagai kebalikan dari idealisme subyektif. Menurut Schelling, kebenaran gambaran tentang dunia tidaklah ditentukan oleh subjek (ego), melainkan oleh objek pengamatan, yaitu bagaimana objek itu menampilkan dirinya, atau bagaimana objek menyadarkan subjek. Apabila aku (ego) menentukan kehendak, hal itu diharuskan oleh kemestian yang mendahului kehendak, yaitu seluruh objek pengamatan kecuali sebagai pemberi kehendak, juga sebagai pemberi arah bahkan mampu merubah kehendak. 

c. Hegel (1770-1831) 

Hegel adalah tokoh idealisme mutlak, yang sangat berperan bagi penyemburnaan idealisme. Hegel berhasil menampilkan idealisme yang terpadu setelah dikoyak-koyak oleh Fichte dan Schelling. Apabila Fichte bersifat subjektif dan Schelling bersifat objektif, maka Hegel melihat secara keseluruhan (totalitas). 

Membuktikan kebenarannya yang mutlak itu, Hegel menyusun alur pikir yang disebut dengan dialektika, yaitu tesis, antitesis dan sintesis. 

5. Materialisme

Berasal dari “materi” yang berarti benda. Materialisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa, kebenaran tidaklah ditentukan oleh gambaran, melainkan oleh benda dan seluruh kenyataan yang ada dirumuskan dan ditentukan oleh benda. Aliran ini memandang bahwa realitas seluruhnya adalah materi belaka. 

Tokoh Materialisme dan Pemikirannya

a. Ludwig Feuerbach (1804-1872)

Menurutnya hanya alamlah yang ada. Manusia adalah alamiah juga seperti halnya benda seperti kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti kayu dan batu, tetapi materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya/pada prinsipnya/pada dasarnya manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi. 

b. Karl Marx (1818-1883) 

Pokok pemikiran Marx diambil dari ajaran Filsafat Hegel dan Filsafat Feurbach. Dari Hegel diambil metode dialektikanya dan mengenai sejarah, sedang dari Feurbach diambil teori materialismenya. Ajaran filsafat Karl Marx disebut juga materialisme dialektika, dan disebut juga materialisme historis. Disebut sebagai materialisme dialektika karena peristiwa kehidupan yang didominasi oleh keadaan ekonomis yang materiil itu berjalan melalui proses dialektika: tese, antitese dan sintese. Disebut materialisme historis, karena menurut teorinya, bahwa arah yang ditempuh sejarah sama sekali ditentukan oleh perkembangan sarana-sarana produksi yang materiil. 

6. Positivisme

Istilah positivisme berasal dari kata “positive” yang berarti “jelas dan bisa digambarkan serta bermanfaat”. Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif. Sesuatu di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. 

Menurut aliran ini, pemikiran manusia mengalami perkembangan, mulai dari yang sangat sederhana, sampai yang modern, yaitu positif. Pada tahap ini manusia hanya mempercayai yang riil saja berdasarkan ilmu positif (science positive) yang didasarkan pada pengamatan (observasi) dan percobaan langsung (eksperimentasi). Melalui dua pembuktian ini, segala yang berbau metafisis dibuang, karena tidak bisa dibuktikan dengan dua pendekatan tersebut. 

Tokoh aliran ini adalah Auguste Comte (1798-1857), ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. 

Jadi pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme plus rasionalisme. 

7. Fenomenologi

Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani "phainomenon" yang mengandung tiga pengertian saling terkait, yaitu “yang langsung nampak, sesuatu yang langsung menampakkan diri tetapi masih terselubung dan proses penampakkan”. Berpijak pada tiga pengertian di atas, maka fenomenologi menurut istilah yang dikembangkan ialah “filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran merupakan hasil deskripsi intuitif manusia terhadap suatu objek sesuai dengan penampakan diri (fenomena) objek tersebut”. 

Jadi aliran ini berbeda dengan rasionalisme (subjektif), empirisme (objektif) dan idealisme (idealistik). Maka fenomenologi menggabungkan di antara subjek (manusia), objek (yang diamati) dengan cara pengamatan secara intuitif. 

Tokoh Fenomenologi dan Pemikirannya

a. Edmund Husserl (1859-1938)

Beliau adalah filsuf Jerman dan pendiri Fenomenologi. Pemikiran terpentingnya adalah:

  • Teori kebenaran; menurut Husserl kebenaran haruslah digabung di antara subjek dengan obyek. Objek diberi kesempatan memperkenalkan dirinya kepada subjek yang mengamati, sesuai dengan semboyan zurukh zu den schen selbs (kembalilah kepada benda-benda sendiri). 
  • Tiga jenis reduksi; agar intuisi dapat menangkap gejala-gejala di atas secara benar, maka manusia harus melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman dan gambaran sebelumnya yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Caranya ialah de­ngan tiga jenis reduksi, yaitu: reduksi fenomenologis, reduksi eiditis, reduksi fenomenologi transendental.

b. Max Scheler (1874-1928)

Max Scheler merupakan pelanjut tradisi fenomenologi. Pemikiran eksklusif Scheler dibanding fenomenolog (filsuf fenomenologi) lainnya ialah tentang agama. Menurutnya, agama dan filsafat merupakan dua entitas otonom sesuai dengan posisinya. Kendati memiliki otonomi eksklusif, namun di antara keduanya memiliki keterikatan. Misalnya, dengan memahami metafisis dalam filsafat tidak serta merta dapat memahami konsep metafisika agama, karena keduanya memiliki aktus kodrati yang berbeda. Sebab itu kebenaran agama hanya dapat diterima atas dasar kepercayaan religius, bukan ke­benaran metafisis-filosofis. 

Di dalam upaya menemukan kepercayaan religius, Scheler menggunakan pendekatan fenomenologi. Melalui pendekatan fenomenologi ini, menurut Scheler, dapat ditampilkan ciri dasar aktus religius, yaitu bahwa aktus itu mempunyai intensi yang transendental dunia (yang ilahi), dan yang ilahi ini menjadi dasar dari aktus religius. Dengan kata lain, aktus religius itu membutuhkan pemenuhan intensional dari dunia transenden. Aktus re­ligius membutuhkan suatu objek yang tak terbatas, yaitu yang ilahi. Oleh karena itu, kebutuhan akus religius hanya dapat terpenuhi oleh sesuatu yang diyakini subjek sebagai berasal dari Tuhan. 

8. Eksistensialisme

Istilah eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri adalah bahasa Latin yang artinya: ex; keluar dan sistare; berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Secara umum eksistensialisme dimaksudkan sebagai aliran filsafat yang membicarakan keberadaan segala sesuatu, termasuk manusia. Permasalahannya ialah, siapakah yang benar-benar berada (bereksistensi); apakah manusia, atau Tuhan atau kedua-duanya?

Tokoh Eksistensialisme dan Pemikirannya

a. Martin Heidegger (1889-1976)

Pemikiran Heidegger ialah mengenai ada/realitas dan waktu (sein und zeit), yaitu apakah ada itu konkrit atau tidak. Persoalan yang menjadi sorotan utamanya ialah pemaknaan “Aku ada”. Menurutnya, manusia adalah suatu makhluk yang terlempar di dunia ini tanpa persetujuannya. Ia seolah berada di jurang ketiadaan (nothingness) yang sangat dalam yang menyebabkannya gelisah. Hal ini menurutnya, merupakan kelemahan manusia dan sebagai dorongan agar ia dapat memahami akan eksistensinya. Sebagai puncak eksistensi, manusia berbeda dengan benda-benda sekitarnya. Namun manusia mempunyai kecenderungan untuk menjadi suatu benda. 

b. Soren Kierkegard (1813-1855)

Kierkegard dipandang sebagai tokoh eksistensialisme teis, yaitu berupaya mengangkat eksistensi manusia tanpa harus membuang jauh Tuhan dari kehidupan manusia. Ungkapannya ialah: “Saya menjadi sebagaimana saya ada”. Melalui ungkapan ini Kierkegard menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berkeistensi yang berhadapan dengan eksistensi Tuhan. Hanya manusia yang bereksistensi bukan berarti yang lain tidak ada. Hanya saja tingkat eksistensi dunia, binatang-binatang dan makhluk lainnya lebih rendah, karena mereka hanya ada, tidak mengada. 

9. Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan, dan juga manfaat. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. 

Tokoh Pragmatisme dan Pemikirannya

a. William James (1842-1910)

Sebagai pendiri pragmatisme, pemikiran terpentingnya ialah mengenai makna pragmatisme. Pragmatisme merupakan filsafat ala Amerika yang berciri pragmatis. Orang Amerika tidak puas dengan filsafat teoritis yang bertanya “apa itu”, tetapi memasuki filsafat praktis yang bertanya “apa gunanya”. Sistematisasi dari jenis kedua inilah yang melahirkan filsafat pragma­tisme. Oleh karena itu, dikaitkan dengan aliran rasionalisme dan empirisme, pragmatisme berada di antara dua aliran tersebut.

Pandangan filsafatnya, diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktek, apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. 

Ukuran segala sesuatu ialah manfaat yang praktis. Pandangan ini mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk agama dan moral. Dalam kaitan dengan agama, James tidak bertanya “kebenaran agama” yang ia tanya ialah “apakah hasilnya agama menjadi pedoman hidup saya”. Jadi, manusia bebas memilih di antara percaya dan tidak percaya, sesuai dengan pertimbangan fragmatisnya. Begitu juga dalam bidang moral, ukuran baik buruk ditentukan oleh adakah manfaat dari suatu perbuatan; jika ada dipandang baik, dan jika tidak dipandang buruk. 

b. John Dewey (1859-1952) 

Sebagai pengikut filsafat pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara praktis. 

Menurutnya tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidak lain daripada alat untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metoda induktif. 

PENUTUP

A. Kesimpulan

Filsafat Modern merupakan pembagian dalam sejarah filsafat barat yang menjadi tanda berakhirnya era skolatisisme. Tidak mudah untuk membuat suatu batas yang tegas antara periode Renaissance dan periode modern. Sebagian orang menganggap bahwa periode modern hanyalah perluasan periode Renaissance. 

Zaman modern sangat dinanti-nantikan oleh banyak pemikir manakala mereka mengingat zaman kuno ketika peradaban begitu bebas, pemikiran tidak dikekang oleh tekanan-tekanan di luar dirinya. Filsafat abad modern pada pokoknya dimulai dengan tiga aliran, yaitu: 

  1. Aliran Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650 M). 
  2. Aliran Empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1210-1292) 
  3. Aliran Kritisisme dengan tokohnya Immanuel Kant (1724-1804 M). 

Selain aliran itu, juga muncul aliran-aliran besar beserta tokoh dan pemikirannya yangikut berperan mengisi lembaran filsafat modern, antara lain yaitu idealisme, materialisme,positivisme, fenomenologi, eksistensialisme dan pragmatisme.

PUSTAKA 

Hamersma, Harry. 1984. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT Gramedia. 

Tampubolon, Raffles D. 2005. Logika & Filsafat. Medan; Universitas HKBP Nommensen Press. 

https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/10/08/perkembangan-ilmu-pengetahuan-pada-era-modern/ (diakses tanggal 22 Juni 2018). 

https://afidburhanuddin.wordpress.com/2014/06/07/sejarah-perkembangan-ilmu-pada-masa-modern-14/, (diakses tanggal 22 Juni 2018).

Post a Comment for "Makalah Filsafat dan Sejarah Sains : Pengetahuan Pada Zaman Modern"