Makalah Evaluasi Revolusi Hijau Dan Masalah Lahan Pertanian Yang Makin Tandus
Daftar Isi [Tampilkan]
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Munculnya revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga dilakukan pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan penelitian binit unggul dalam bidang Pertanian. Upaya ini terjadi didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Thomas Robert Malthus.
Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Grakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa. Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian. Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya.
Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah. Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat.Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani.Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah.
1.2. Rumusan Masalah
- Apa pengertian dari revolusi hijau?
- Bagaimana perkembangan revolusi hijau, teknologi dan industrialisasi?
- Bagaimana Penerapan Revolusi Hijau?
- Apakah dampak revolusi hijau bagi masyarakat Indonesia?
1.3. Tujuan Pembahasan
- Untuk mengetahui pengertian dari Revolusi Hijau
- Untuk mengetahui lebih jelas tentang perkembangan revolusi hijau teknologi dan industrialisasi.
- Agar mengetahui penerapan revolusi hijau
- Dampak revolusi hijau bagi masyarakat Indonesia.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Revolusi Hijau
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960).Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras.Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah. Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat.
Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah.Sebelum 1960-an, nama pupuk buatan seperti Urea, TSP atau SP-36 maupun KCl belum dikenal. Petani kala itu tidak memupuk dengan pupuk dari pabrik melainkan pakai pupuk kandang. Produksi padi, jagung, ubi dan sayur-mayur yang keluar dari lahan pertanian saat itu tetap tinggi dengan rasa yang lebih enak.Intensifikasi pertanian, pemakaian pupuk pabrik, dan penggunaan varietas tanaman baru digagas melalui program Revolusi Hijau pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa gencar menjalankan Revolusi Hijau ke seluruh dunia. Revolusi Hijau merupakan usaha untuk meningkatkan ketersediaan pangan utama (beras dan gandum) di negara berkembang dengan cara pemakaian varietas baru tanaman yang berproduksi tinggi.Tujuan program ini sangat baik, untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk yang makin banyak. Para pakar pertanian menemukan terobosan untuk meningkatkan produksi pangan di negara berkembang dengan memperkenalkan pupuk buatan yang bisa meningkatkan produksi pertanian.
Intensifikasi pertanian dilakukan dengan cara peningkatan frekuensi penanaman padi dan palawija dalam sebidang lahan menjadi 2 atau 3 kali setahun. Program ini memang menaikkan jumlah hasil pertanian per hektare secara signifikan tapi berdampak buruk terhadap kesehatan tanah. Kesuburan alami tanah menurun drastis. Tanah tak lagi mempunyai nutrisi untuk pertumbuhan tanaman.
2.2. Perkembangan Revolusi Hijau, Teknologi Dan Industrialisasi
Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau. Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen komoditas tersebut.
Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi hijau ditempuh dengan cara:
1. Intensifikasi Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani yang meliputi :
- Pemilihan Bibit Unggul
- Pengolahan Tanah yang baik
- Pemupukan
- Irigasi
- PemberantasanHama
2. Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb).
3. Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani.
4. Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan.
2.3. Penerapan Revolusi Hijau di Indonesia
Sejak orde baru berkuasa telah banyak perubahan yang dicapai oleh bangsa indonesia melalui tahap-tahap pembangunan di segala bidang. Pemerintah orde baru berusaha meningkatkan peran negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu, langkah yang dilakukan oleh pemerinth Orde Baru adalah menciptakan stabilitas ekonomi politik.Tujuan perjuangan Orde Baaru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Pada Sidang Umum IV MPRS diambil suatu keputusan untuk menugaskan Jenderal Soeharto selaku pengemban Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar, yang sudah ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS No.IX/MPRS 1996 untuk membentuk kabinet baru.
Pembentukan kabinet baru ini dinamakan Kabinet Ampera.Kabinet Ampera ditugaskan untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan politik sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional.Salah satu program yang dibebankan kepada Kabinet Ampera adalah untuk memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan. Atas program tersebut maka dilaksanakanlah berbagai upaya untuk meningkatkan ketersediaan pangan atau jumlah produksi pangan melalui gerakan revolusi hijau.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah Orde Baru adalah produksi pangan yang tidak seimbang dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat. Oleh karena itu pemerintah Orde Baru memasukkan Revolusi Hijau dalam program Pelita. Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989.
Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting:
- Penyediaan air melalui sistem irigasi.
- Pemakaian pupuk kimia secara optimal,
- Penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan
- Penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas.
Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru atau Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen komoditas tersebut. Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Sedangkan proses penerapan revolusi hijau di Indonesia dilakukan dengan berbagai upaya yang diatur oleh pemerintah diantaranya :
- Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada petani.
- Kegiatan pemasaran hasil produksi pertanian berjalan lancar sering perkembangan teknologi dan komunikasi.
- Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau yang dikenal dengan monokultur, yaitu menanami lahan dengan satu jenis tumbuhan saja.
- Pengembangan teknik kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul yang diharapkan yang tahan terhadap serangan penyakit dan hanya cocok ditanam di lahan tertentu.
- Petani menggunakan bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI=International Rice Research Institute) yang bekerjasama dengan pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih dikenal dengan bibit IR.
- Pola pertanian berubah dari pola subsistensi menjadi pola kapital dan komersialisasi.
- Negara membuka investasi melalui pembangunan irigasi modern dan pembagunan industri pupuk nasional.
Pemerintah mendirikan koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD (Koperasi Unit Desa).
Selain usaha-usaha pertanian diatas, pemerintah juga melakukan berbagai macam penelitian benih tanaman.Maka berbagai macam penelitian yang dilakukan di Indonesia bertujuan untuk mendapatkan varietas tanaman pertanian yang unggul yang sesuai dengan kondisi alam Indonesia.Disamping melakukan penelitian dengancara menanam varietas-varietas unggul, penelitian juga diikuti pengolahan lahan-lahan pertnian atau perluasan lahan pertanian yang disusul dengan program transmigrasi dari daerah daerah yang padat ke daerah-daerah yang masih jarang penduduknya.
Sejak tahun 1950, pemerintah Indonesia berupaya untuk memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke daerah-daerah yang masih jarang penduduknya seperti ke pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya.Pemindahan penduduk ini masih tetap berlanjut sampai sekarang dan merupakan suatu upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, selain untuk meningkatkan produksi pertanian.
Dengan menggunakan varietas-varietas unggul dan melaksanakan program transmigrasi, harapan masyarakat dan bangsa indonesia dalam peningkatan produksi pertanian semakin cerah. Penghasilan petani mulai mengalami peningkatan dibandingkan dengan ahun0tahun sebelumnya.Oleh karena itu revolusi hijau sangat besar peran serta manfaatnya dalam mencapai peningkatan hasil produksi pertanian.
2.4. Dampak Revolusi Hijau Di Indonesia
Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.
Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.
Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah. Sebagaimana kita ketahui diatas bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan hasil pertanian adalah dengan penggunaan pestisida untuk membunuh hama dan gulma.
Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker.Bahkan jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama —suatu keadaan yang kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida— karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan.
Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun.
A. Dampak Positif Revolusi Hijau di Indonesia
Disamping berbagai hal buruk seiring penerapan revolusi hijau kita tidak boleh melupakan bahwa pada masa itu Indonesia juga mampu menjadikan produksi padi meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada.
Keberhasilan pelaksanaan revolusi hijau sangat menggembirakan kehidupan para petani.Para petani dapat meningkatkan produksi pertaniannya.Daerah-daerah yang sebelumnya memproduksi hasil tanaman secara terbatas dan hanya untuk memenuhi kebutuhan minimum masyarakat, kini dapat menikmati hasil yang lebih baik berkat revolusi hijau.Kekurangan bahan pangan yang selama ini dialami telah berhasil diatasi.Bahkan ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi, semua sektor ekonomi dihantam krisis, tetapi sektor pertanian dapat bertahan dan menjadi pilar penyangga pertumbuhan ekonomi sehingga cukup banyak orang beralih ke sektor agribisnis.
Maka keberhasilan revolusi hijau dapat dirangkum dalam beberapa poin berikut :
- Memberikan lapangan kerja bagi para petani maupun buruh pertanian.
- Daerah yang tadinya hanya dapat memproduksi secara terbatas dan hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal masyarakatnya dapat menikmati hasil yang lebih baik karena revolusi hijau.
- Kekurangan bahan pangan dapat teratasi.
- Sektor pertanian mampu menjadi pilar penyangga perekonomian Indonesia terutama terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga orang beralih usaha ke sektoragrobisnis.
B. Permasalahan dan Dampak Negatif Revolusi Hijau di Indonesia
Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya.Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah
Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat.Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani.
Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:
- Berbagai organisme penyubur tanah musnah
- Kesuburan tanah merosot / tandus
- Tanah mengandung residu (endapan pestisida)
- Hasil pertanian mengandung residu pestisida
- Keseimbangan ekosistem rusak
- Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.
Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani.Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia.Petani merupakan komunitas mandiri.Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri.Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia —yang membuat banyak petani terlilit hutang.Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat.Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru.Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani.Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960).
Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembadaberas.
Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Namun keberhasilan revolusi hijau di Indonesia dapat dikatakan semu, sebab berbagai akibat negatif telah ditimbulkan karena revolusi hijau seperti polusi tanah yang mengakibatkan rusaknya lahan subur, timbulnya penyakit yang kebal pestisida dan komersialisasi pupuk oleh pemerintah yang menekan kehidupan para petani yang harus membeli dengan harga yang tidak sesuai bahkan tanpa memberikan penjelasan mengenai bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan kimia secara terus-menerus.
Referensi / Daftar Pustka :
Post a Comment for "Makalah Evaluasi Revolusi Hijau Dan Masalah Lahan Pertanian Yang Makin Tandus"