Perkembangan Islam Pada Masa Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah
Daulah Abbasiyah resmi berdiri menggantikan Bani Umayyah pada tahun 132 H / 750 M, pendiri daulah Abbasiyah adalah Abu Abbas Abdullah As Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib bin Abdul Manaf, merupakan kelanjutan dari pemerintahan Daulah Bani Umayah yang telah hancur di Damaskus.
Dinamakan kekhalifahan Abbasiyah, karena para pendiri daulah Abbasiyah dan penguasa dinasti ini merupakan keturunan Bani Abbas, paman Nabi Muhammad SAW.
Perbedaan pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah adalah :
- Daulah Bani Umayyah bersifat Arab Oriented, artinya dalam segala hal para pejabatnya berasal dari keturunan Arab Murni, begitu juga corak peradabannya.
- Daulah Bani Abbasiyah, disamping bercorak Arab Murni juga telah terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir bahkan Yunani.
Pada masa dinasti Abbasiyah luas wilayah kekuasaan Islam semakin bertambah dan Daulah Bani Abbasiyah berpusat di kota Baghdad sebagai pusat pemerintahannya.
Perluasan kekuasaan dan pengaruh Islam bergerak ke wilayah Timur Asia Tengah dari perbatasan India hingga ke Cina. Wilayah kekuasaan Islam amat luas yaitu meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah antara lain Hijaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran, Yordania, Palestina, Libanon, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol, Afganistan, dan Pakistan. Daerah-daerah tersebut memang belum sepenuhnya berada di wilayah Bani Umayah, namun di masa kekuasaan dinasti Abbasiyah perluasan daerah dan penyiaran Islam semakin berkembang, sehingga meliputi daerah Turki, Armenia, dan sekitar Laut Kaspia.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa pemerintahan Bani Abbasiyah mampu mengembangkan dan memajukan peradaban Islam, sehingga daulah ini mencapai puncak kejayaannya. Karena para penguasanya banyak memberikan dorongan kepada para ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam segala bidang kehidupan.
Kemajuan dinasti Abbasiyah antara lain disebabkan sikap dan kebijaksanaan para penguasanya dalam mengatasi berbagai persoalan, kebijaksanaan itu antara lain adalah:
- Para khalifah tetap keturunan Arab sedangkan para menteri, gubernur, panglima perang dan pengawal diangkat dari bangsa Persia.
- Kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan, dijadikan kota internasional untuk segala kegiatan seperti ekonomi, politik, budaya, dan sosial.
- Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah membuka kesempatan pengembangan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
- Rakyat bebas berpikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang, seperti akidah, ibadah, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
- Para menteri keturunan Persia diberi hak penuh menjalankan pemerintahan, sehingga mereka memegang peranan penting dalam memajukan kebudayaan Islam.
- Berkat usaha khalifah yang sungguh-sungguh dalam membangun ekonominya, mereka memiliki perbendaharaan yang cukup berlimpah.
- Dalam pengembangan ilmu pengetahuan para khilafah banyak mendukung perkembangan tersebut sehingga banyak buku-buku yang dikarang dalam berbagai ilmu pengetahuan.
Bentuk-bentuk peradaban Islam di masa Bani Abbasiyah dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yakni kota-kota pusat peradaban Islam, bangunan-bangunan, penemuan-penemuan, dan tokoh-tokohnya.
a. Kota-kota pusat peradaban Bani Abbasiyah
- Baghdad, merupakan kota yang paling indah yang dikerjakan oleh lebih dari 100.000 pekerja dipimpin oleh Hajaj bin Arthal, di sini terdapat istana yang berada di pusat kota, asrama pengawal, rumah kepala polisi dan rumah-rumah keluarga khalifah.
- Samarra, letaknya di sebelah timur sampai Tigris, 60 km dari kota Baghdad, kotanya nyaman, indah, dan teratur.
b. Bangunan-bangunan
- Madrasah, didirikan pertama kali oleh Nizamul Mulk. Terdapat di kota Baghdad, Balkan, Muro, Tabrisan, Naisabur, Hara, Isfahan, Mausil, Basrah dan kota-kota lain.
- Kuttab, yaitu tempat belajar bagi pelajar tingkat rendah dan menengah.
- Masjid, biasanya digunakan untuk tempat belajar tingkat tinggi dan takhassus.
- Majelis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ahli fakir dan para sarjana untuk menseminarkan masalah-masalah ilmiah.
- Baitul Hikmah, merupakan perpustakaan pusat, dibangun oleh khalifah Harun Al Rasyid.
- Masjid Raya Kordova, dibangun pada tahun 786 M.
- Masjid Ibnu Toulon, di Kairo di bangun pada tahun 786 M.
- Istana Al Hamra, di Kordova.
- Istana Al Cazar, dan lain-lain.
c. Penemuan-penemuan dan tokoh-tokohnya
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah sangat meningkat dibandingkan masa sebelumnya, dibuktikan dengan dihasilkan beberapa penemuan-penemuan. Berikut adalah penemuan-penemuan dan para tokohnya :
1. Ilmu Filsafat
- Al Kindi (185 – 260 H = 801 – 873 M)
- Abu Nasr Al Farabi (258 – 339 H / 870 – 950 M). Orang Eropa menyebut dengan Al Pharabius
- Ibnu Bajah (wafat tahun 533 H/1138 M)
- Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H/1186 M)
- Ibnu Shina (370 – 428 H = 980 -1037 M). Orang Eropa menyebut dengan Avicena. Kitabnya yang terkenal dari Ibnu Sina adalah Qanun fi Al-Tib
- Al Ghazali (tahun 1059 -1111 M), ia digelari sebagai Hujjatul Islam
- Ibnu Rusyd (520 – 595 H = 1126 – 1196 M). Orang Eropa menyebut dengan Averoes.
2. Bidang Kedokteran
Ada beberapa perguruan tinggi kedokteran yang terkenal antara lain:
- Sekolah tinggi kedokteran di Yunde Shapur (Iran)
- Sekolah tingig kedokteran di Harron, Syria
- Sekolah tinggi kedokteran di Baghdad
Para dokter dan ahli kedokteran Islam yang terkenal, antara lain:
- Jabir bin Hayyan (wafat tahun 161 H = 778 M) dianggap sebagai bapak ilmu kimia
- Hunain bin Ishaq (194-264 H = 810 – 878 M) ahli mata yang terkenal
- Thabib bin Qurra (221 – 228 H = 836 – 901 M)
- Ar Razi (251 – 313 H = 809 – 873 M)
3. Bidang Matematika
- Umar Al Farukhan, insiyur arsitek membangun kota Baghdad
- Al Khawarizmi, pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar) ahli matematika terkenal juga penemu angka nol, sedangkan angka 1-9 dari India, namun dikembangkan olehnya yang terkenal dengan nomor arab (Arabic Numeric)
- Banu Nusa, menulis banyak buku dan ilmu ukur
4. Bidang Astronomi
- Al Fazari, seorang pencipta astrolabe, yaitu alat pengukur tinggi dan jarak bintang-bintang
- Al Battani, lebih dikenal dengan Al Khawarizmi dalam ilmu perbintangan
- Al Farghoni, membangun beberapa observatorium di Baghdad maupun di Yunde Shapur
5. Farmasi dan Kimia
Ibnu Baithar, ahli obat-obatan, makanan atau gizi
6. Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir pada masa ini terdiri dari :
- Tafsir bil Ma’tsur, yaitu Al Quran yang ditafsirkan dengan hadits-hadits
- Tafsir bin Ro’yi yaitu tafsir Al Quran dengan menggunakan akal pikiran.
Diantara para ahli Tafsir bin Ma’tsur adalah:
- Ibnu Jarir al Thabari
- Ibnu ‘Athiyah al Andalusi
- Al Sudai mendasarkan tafsirnya kepada Ibnu Abas dan Ibnu Mas’ud
- Muqotil Ibnu Sulaiman
Diantara para ahli tafsir bin Ro’yi adalah :
- Abu Bakar Asam (Muktazilah)
- Abu Muslim Muhammad Ibnu Bahar Isthani (Muktazilah)
- Ibn Jaru Al Asadi (Muktazilah)
- Abu Yunus Abdussalam (Muktazilah)
7. Ilmu Hadits
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang keduan setelah Al Quran, pada masa Bani Abbasiyah muncullah ahli-ahli hadits yang ternama:
- Imam Al Bukhari, yaitu Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Abi Al Hasan, Al Bukhari lahir di Bukhara tahun 194 H dan wafat di Baghdad tahun 256 H. Hasil karyanya ialah Shahih Al Bukhari.
- Imam Muslim, yaitu Imam Abu Muslim Ibnu Al Hajjaj Al Qushoiri Al Naishabury, wafat tahun 21 H di Naishabur. Hasil karyanya ialah Shahih Muslim
- Ibnu Majah, hasil karyanya ialah Sunan Ibnu Majah
- Abu Dawud, hasil karyanya ialah Sunan Abu Dawud
- An Nasai, hasil karyanya ialah Sunan An Nasai
8. Ilmu Kalam
Di antara ilmu kalam yang berkembang ialah:
- Jabariyah, tokohnya Jahm bin Sofyan, Ya’du bin Dirhan
- Qodariyah, tokohnya Ghilan Al Damasyqy, Ma’bad Al Juhaini
- Mu’tazilah, tokohnya Washil bin Atha’
- Ahlus Sunnah, tokohnya Abu Hasan Al Asy’asry, Al Ghozali
9. Ilmu Bahasa
Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping sebagai alat komunikasi antar bangsa. Di antaranya para ahli bahasa itu adalah:
- Sibawaihi (wafat tahun 183 H)
- Al Kisai (wafat tahun 198 H)
- Abu Zakariya Al Farra (wafat tahun 208)
Politik dan Militer
Perkembangan di bidang politik dan militer pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah dibedakan ke dalam lima periode. Setiap periode ditandai adanya perubahan dalam hal pemegang kekuasaan, sistem pemerintahan, dan kebijakan militer.
Berikut ini akan kita bahas tentang perkembangan bidang politik dan militer Dinasti Abbasiyah pada tiap-tiap periode secara singkat.
1. Khalifah Dinasti Abbasiyah pada periode pertama adalah sebagai berikut.
- Abu Abbas As Saffah 750-754 M
- Abu Ja’far Al Mansur 754-775 M
- Al Mandi 775-785 M
- Al Hadi 785-786 M
- Harun Ar Rasyid 786-809 M
- Al Amin 809-813 M
- Al Ma’mun 813-833 M
- Al Mu’tasim 833-842 M
- Al Wasiq 842-847 M
Periode pertama adalah periode yang banyak dipengaruhi Persia pertama, dikatakan demikian sebab pada periode ini ada sebuah keluarga bangsawan Persia yang berpengaruh dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yakni keluarga Barmak.
Periode pertama menjadi masa kejayaan, keemasan dan kemajuan Bani Abbasiyah. Walaupun sebenarnya, bibit kemunduran Bani Abbasiyah sudah terlihat pada periode ini, yaitu ketika terjadi perang saudara antara Al Amin dan Al Ma’mun.
2. Khalifah Bani Abbasiyah pada periode kedua adalah sebagai berikut.
- Al Mutawakkil 847-861 M
- Al Muntasir 861-862 M
- Al Musta’in 862-866 M
- Al Mu’tadid 892-902 M
- Al Muktafi 902-908 M
- Al Muktadir 908-932 M
- Al Mu’taz 866-869 M
- Al Muhtadi 869-870 M
- Al Mu’tamid 870-892 M
- Al Qahir 932-934 M
- Ar Radi 934-940 M
- Al Muttaqi 940-944 M
Periode kedua adalah periode pengaruh Turki pertama. Karena pasukan Turki yang menjadi tentara Dinasti Abbasiyah sangat mendominasi pemerintahan.
3. Khalifah Bani Abbasiyah pada Periode Ketiga adalah sebagai berikut.
- Al Muktafi 944-946 M
- Al Muti 946-974 M
- At Ta’i 974-991 M
- Al Qadir 991-1031 M
- Al Qa’im 1031-1075 M
Periode ketiga disebut terkenal dengan sebutan pengaruh Persia kedua. Disebut demikian sebab pada waktu itu ada sebuah golongan lagi dari bangsa Persia berperan penting dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu Dinasti Buwaihiyah.
4. Khalifah Dinasti Abbasiyah pada periode keempat adalah sebagai berikut.
- Al Qa’im 1031-1075 M
- Al Muqtadi 1075-1094 M
- Al Mustazir 1094-1118 M
- Al Mustarsid 1118-1135 M
- Ar Rasyid 1135-1136 M
- Al Muqtafi 1136-1160 M
- Al Mustanjid 1160-1170 M
- Al Mustadi 1170-1180 M
- An Nasir 1180-1225 M
Periode keempat disebut pengaruh Turki kedua. Disebut demikian sebab pada waktu itu sebuah golongan dari bangsa Turki lain yang berperan penting dalam pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu Dinasti Seljuk,
5. Khalifah Dinasti Abbasiyah pada periode kelima adalah sebagai berikut.
- An Nasir 1180-1225 M
- Az Zahir 1225-1226 M
- Al Mustansir 1226-1242 M
- Al Musta’sim 1242-1258 M
Pada periode kelima, pemerintahan dinasti Abbasiyah tidak banyak dipengaruhi dan dikendalikan oleh pihak mana pun. Akan tetapi sayangnya, kekuatan politik dan militer Dinasti Abbasiyah sudah sangat lemah sehingga kekuasaan mereka tinggal meliputi wilayah Irak dan sekitarnya saja. Dan Dinasti Abbasiyah akhirnya runtuh pada tahun 1258 M karena serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
Kemunduran Bani Abbasiyah
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran dinasti Bani Abbasiyah. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Disintegrasi Politik
Disintegrasi politik ini sebenarnya tidak saja terjadi pada masa kekhalifahan Dinasti Bani Abbasiyah saja, tetapi terjadi juga pada dinasti Bani Umayah, dan kerajaan-kerajaan lain di dunia.
Pada masa khalifah Bani Umayah, puncak disintegrasi politik terjadi pada saat khalifah tidak lagi memiliki kekuatan politik untuk membasmi gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh para pembangkang yang tidak menyukai gaya kepemimpinan khalifah.
Disintegrasi penyebabnya antara lain, bahwa pada masa akhir kekuasaan dinasti Abbasiyah para khalifahnya tidak mempunyai power dan hanya sebagai boneka dari para perdana mentrinya.
Khalifah menjadi boneka para penguasa yang menguasai pemerintahan waktu itu, seperti penguasa Bani Buwaihiyah, Bani Seljuk, dan para petinggi Turki lainnya. Hal itu ditambah dengan adanya daerah yang mencoba melepaskan diri dari pusat kekuasaan khalifah di Baghdad.
2. Perebutan Kekuasaan
Sejak awal masa-masa pemerintahan khalifah Bani Abbasiyah, sudah ada indikasi terjadinya perebutan kekuasaan di dalam keluarga khalifah. Dan penyebabnya adalah estafet kekuasaan kurang baik dalam menentukan putra mahkota.
Contoh yang dapat diambil dan dipelajari adalah peristiwa perebutan kekuasaan antara Al Amin dengan Al Makmun. Masing-masing kubu mempunyai kelompok pendukung yang sangat fanatik.
Al Amin, yang ibunya orang Arab asli bernama Zubaidah, tentu saja mendapat dukungan kuat dari kelompok orang-orang Arab. Sedangkan al Makmun, yang ibunya dari orang Persia bernama Marajil, mempunyai pendukung yang kuat dan fanatik dari kelompok orang-orang Persia.
Terjadi perebutan kekuasaan itu sangat terlihat pada saat Al Amin mengganti Al Makmun dari jabatanny sebagai gubernur di Khurasan. Posisinya sebagai putra mahkota yang akan menggantikan sebagai khalifah kelak, kemudian digantikan oleh putra Al Amin yang masih kecil.
Tentu saja pemecatan dan pengangkatan putra mahkota ini menimbulkan rasa jengkel Al Makmun. Dengan kekuatan lebih dari 40.000 personel tentara di bawah komando Taher bin Husein, dan masih ditambah lagi dengan dukungan para perwira tinggi yang berasal dari Persia, akhirnya perang saudara ini tidak dapat dielakkan.
Kekuatan Al Amin yang berjumlah hanya sekitar 10.000 tentara dengan mudah dapat dikalahkan oleh Taher bin Husein dalam sebuah pertempuran di Ray pada tahun 811 M.
3. Kedudukan Khalifah yang Lemah
Kewibawaan khalifah Bani Abbas mulai menurun sejak masa Al Watsiq, Al Mutawakil, dan sesudahnya. Sulit ditemukan para pengganti khalifah yang mempunyai kemampuan cukup untuk memimpin kerajaan yang besar dan luas.
Para khalifah hanya menjadi boneka kekuasaan para wazir dan para menteri yang korup dan gila kekuasaan.
Kelemahan dan tidak adanya power khalifah dimanfaatkan oleh para pejabat gubernur di berbagai provinsi untuk melepaskan diri dari pemerintahan pusat.
Contoh yang kongkrit, sepeninggal Al Muntashir orang-orang Turki mengangkat Al Musta’in sebagai khalifah (248-252 H / 862-866 M), khalifah al-Musta’in banyak diatur oleh orang-orang Turki.
4. Munculnya kerajaan-kerajaan kecil di Barat dan Timur Baghdad
Wilayah kekuasaan pada masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah yang luas, membuat pemerintahan tidak dapat melakukan kendali dan kontrol dengan baik pada wilayah-wilayah tersebut.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para penguasa daerah yang letaknya sangat jauh dari pusat pemerintahan untuk melepaskan diri dan ingin berdiri sendiri menjadi kerajaan.
Di antara kerajaan-kerajaan yang dapat berhasil melepaskan diri dari pusat adalah dinasti Bani Fathimiyah yang didirikan di Tunisia pada tahun 297-323 H/909-934 M oleh Al Mahdi. Dinasti ini berkuasa cukup lama, hingga akhirnya dihancurkan oleh Shalahuddin Al Ayyubi, Dinasti Bani Buaihiyah (945-1055 M), dan Dinasti Bani Salajiqah (1037-1157 M).
Di samping itu, masih banyak daerah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan pusat kekhalifahan di Baghdad. Di antaranya yang sempat mendirikan kerajaan kecil adalah dinasti Hamdaniyah, didirikan oleh Hamdan bin Hamdan (293-394 H/905-1004 M), dinasti Thahiriyah didirikan oleh Thahir bin Husein (205-259 H/821-873 M), dinasri Shafariyah didirikan oleh Ya’kub bin Layts al-Shaffar (254-290 H/867-903 M), dinasti Samaniyah didirikan oleh Saman Khuda (261-389 H/874-999 M), dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh Idris bin Abdullah (172-311 H/788-932 M), dinasti Aghlabiyah yang didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab (184-296 H/800-909 M), dinasti Thuluniyah yang didirikan oleh Ahmad bin Thulun (254-292 H/868-905 M), dinasti Ikhsyidiyah yang didirikan oleh Muhammad bin Tughj (323-358 H/935-969 M).
Baca Juga : Kerajaan Islam Yang Berdiri Di Luar Wilayah Bani Abbasiyah
5. Krisis Ekonomi
Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya kemunduran dan kehancuran dinasti Bani Abbasiyah adalah krisis ekonomi. Krisis di bidang ekonomi ini adalah akibat dampak dari dan krisis politik yang terjadi pada waktu itu, banyaknya pergolakan dan pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah membuat banyak pendapatan negara tidak dapat masuk ke kas kerajaan.
Terhambatnya pemasukan kas kerajaan dan ditambah banyak kelompok yang enggan membayar pajak, bahkan ada beberapa wilayah yang terang-terangan menyatakan merdeka dan tidak lagi terikat dengan pemerintahan pusat di Baghdad.
Di antara wilayah yang menolak dan menyatakan merdeka dari Baghdad adalah Mesir ketika berada di bawah kekuasaan dinasti Fathimiyah dan Tunisia.
Di samping itu, krisis ekonomi ini juga jumlah pengeluaran negara yang dipergunakan untuk kepentingan kelompok istana ikut-ikut membengkak. Semua kebutuhan istana diambil dari kas yang ada di baitul mal, sehingga jumlah uang yang ada pada kas tersebut terus berkurang dan mengalami defisit anggaran.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika tidak ada lagi pemasukan dari kharraj (pajak bumi) dan jizyah (pajak perkepala/jiwa), yang dipungut dari masyarakat, negara benar-benar mengalami kebangkrutan dan menyebabkan krisis ekonomi yang sangat parah.
Sebagai akibat dari krisis politik dan ekonomi yang berkepanjangan adalah masyarakat tidak lagi percaya kepada para pejabat pemerintah.
6. Ketergantungan pada Tentara Bayaran
Faktor yang tak kalah pentingnya adalah sifat ketergantungan yang sangat tinggi kepada tentara bayaran. Sifat ketergantungan ini disebabkan antara lain oleh semakin canggihnya teknologi perang. Sehingga para khalifah tidak lagi banyak bergantung pada kekuatan milisi.
Para penguasa dinasti Bani Abbasiyah ini mulai melirik kepada kekuatan baru dalam upaya mempertahankan dan menjaga keamanan pribadi dan keluarga mereka. Mereka menginginkan adanya pengawal yang loyal, tegas dan berani menjalankan perintah khalifah.
Sebagai konsekuensi dari pengangkatan tentara pribadi dan profesional itu, para khalifah harus memberi gaji atau bayaran yang sesuai dengan jabatan dan pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan demikian, pengeluaran dana belanja negara semakin bertambah.
Perilaku ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh para khalifah, para gubernur juga mengangkat tentara bayaran. Bila mereka menginginkan keselamatan dan kekuasaan mereka terus bertahan, maka mereka harus mengangkat tentara bayaran.
Ketergantungan ini dimanfaatkan oleh para tentara bayaran yang kebanyakan berasal dari daerah Turki. Dengan kemampuan dan kelebihan yang mereka miliki, mereka dapat melakukan tawar menawar dalam masalah tugas dan hak yang aka mereka peroleh.
Biasanya para khalifah atau penguasa lokal tidak banyak pilihan, kecuali menerima tawaran mereka. Sebab secara fisik, mereka memiliki tubuh lebih besar dan sudah terbiasa dengan berbagai pertempuran.
Keruntuhan dan Kehancuran Bani Abbasiyah
Setelah mengalami perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya dinasti bani Abbasiyah mengalami masa keruntuhan dan kehancuran. Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan Mongol, bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah, juga merupakan awal kemunduran politik dan kehancuran peradaban Islam.
Sebab, kota Baghdad yang merupakan simbol peradaban dunia ketika itu dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam, luluh lantah di tangan kelompok masyarakat peradaban rendah itu.
Dengan kekuatan 200.000 personel militer, Hulaghu Khan memasuki kota Baghdad pada tahun 656 H/1258 M. Kekuatan itu tidak dapat dibendung oleh khalifah Al Musta’sim, sebagai khalifah terakhir Bani Abbasiyah.
Sehingga pasukan Hulaghu Khan dengan leluasa memporak-porandakan kota Baghdad yang dikenal sebagai kota Seribu Satu Malam tersebut.
Pusat-pusat peradaban dan peninggalan Islam dibumi hanguskan tentara Hulaghu Khan. Tidak hanya itu, masyarakat musmlim juga menjadi sasaran biadab tentara Mongol. Mereka yang selamat berusaha melarikan diri dan menghindari kota Baghdad. Para ilmuwan dan ulama banyak yang melarikan diri ke kota-kota lain, seperti Isfahan, Khurasan dan sebagainya.
Kehancuran kota Baghdad sebenarnya tidak sedahsyat itu, bila tidak ada pengkhianat dari dalam.
Diceritakan bahwa pada situasi krisis seperti itu, seorang perdana menteri khalifah bernama Muayyaduddin bin Al Qami, seorang penganut Syi’ah, mengambil kesempatan dengan menipu Khalifah Al Musta’sim.
Menurut veris Al Qami, untuk menyelesaikan persoalan itu, ia telah mengadakan perjanjian dengan Hulaghu Khan. Hasilnya, Hulaghu Khan akan menikahkan putrinya dengan putra al Musta’sim bernama Abu Bakar. Dengan demikian, keselamatan khalifah akan terjamin. Hanya saja, khalifah harus tunduk berada di bawah kekuasaan Hulaghu Khan.
Melihat gelagat seperti itu, akhirnya khalifah Al Musta’sim setuju untuk menikahkan putranya dengan putri Hulaghu Khan. Untuk kepentingan itu, disusunlah rencana pertemuan antara kedua belah pihak.
Al Qami keluar dengan membawa barang berharga berupa mutiara, permata dan hadiah lainnya untuk diserahkan kepada Hulaghu Khan. Hadiah tersebut Hulaghu Khan, tetapi dibagikan kepada para panglima perangnya.
Karena tidak terjadi sesuatu yang membahayakan seperti yang mereka khawatirkan, akhirnya khalifah Al Musta’sim pergi diiringi oleh para pembesar istana dan fuqaha dan tokoh lainnya, untuk bertemu Hulaghu Khan.
Tetapi kedatangan khalifah dan orang-orang kepercayaannya, disambut dengan kekuatan pedang oleh Hulaghu Khan dan tentaranya. Khalifah dan para pengikutnya, termasuk wazir Al Qami tewas dibantai saat itu. Peristiwa ini terjadi pada tahun 656 H/1258 M.
Hancurnya kota Baghdad dan tewasnya khalifah al Musta’sim, mengakhiri kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah. Dinasti ini yang semula sangat kuat, secara perlahan melemah dan akhirnya mengalami masa kehancuran di tangan orang yang tidak memiliki peradaban.
Hulaghu Khan dan tentaranya melakukan pembantaian secara biadab terhadap umat Islam dan masyarakat kota Baghdad pada umumnya. Masa ini dalam sejarah Islam dikenal dengan zaman keterpurukan umat Islam dan kehancuran peradaban Islam.
Post a Comment for "Perkembangan Islam Pada Masa Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah"