Kaidah Fiqhiyah Tradisi dan Budaya Warga Nahdlatul Ulama
Sebagian kelompok masyarakat ada yang mempertentangkan antara agama dengan tradisi dan budaya, tidak dapat disamakan atau dipersatukan. Agama merupakan ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan yang sangat terjaga kesuciannya, sakral dan bersifat keakhirat-an.
Tradisi dan budaya merupakan kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas hidupnya yang cenderung sifatnya ke-dunia-an. Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat memandang dan memperlakukan tradisi dan budaya secara wajar dan proporsional.
Pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana menggunakan kaidah-kaidah fiqhiyah dalam menyikapi tradisi dan budaya tersebut? Berikut beberapa kaidah fiqhiyah tradisi dan budaya yang menjadi dasar warga NU:
1. Al-Muhafadhah 'ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ahslah
Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan budaya, karena dikreasikan oleh manusia, maka budaya juga bersifat beragam sebagaimana keberagaman manusia. Sebagai kreasi untuk meningkatkan kualitas hidup, tentu saja budaya memiliki nilai-nilai positif yang dapat dipertahankan untuk kebaikan manusia, secara personal maupun sosial. Dalam hal ini berlaku kaidah fiqh:
اَلْمُحَا فَلظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَاْلاَخْذُبِالْجَدِيْدِ اْلاَصْلَحِ
Artinya: mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik
Kaidah ini menuntun kita untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang. Dengan menggunakan kaidah ini, warga NU memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi atau budaya, yang dilihat bukan tradisi dan budayanya, namun nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Seseorang harus bisa mengapresiasi tradisi yang ada yang merupakan hasil-hasil kebaikan yang dibuat orang-orang pendahulu, dan bersikap kreatif mencari berbagai terobosan baru untuk menyempurnakan tradisi tersebut, atau mencipta tradisi baru yang lebih baik. Sikap seperti ini memacu untuk bergerak kedepan dan tidak melupakan dari akar tradisinya.
2. Al-‘Adah muhakkamah ma lam tukhalifi al-syar'a
Paham Ahlussunnah wal Jama'ah NU tidak apriori bahkan alergi terhadap tradisi. Fiqh Ahlussunnah wal Jama'ah menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan suatu hukum. Jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, dalam arti mengandung kebaikan, maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan sebagai yang layak untuk diikuti. Hal ini sesuai kaidah fiqh:
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ مَالَمْ تُخَالِفِ الشَّرْع
Artinya: Budaya atau tradisi yang baik bisa menjadi pertimbangan hukum selama tidak bertentangan dengan norma agama.
Al-'Adah muhakkamah menjadikan performa Islam menjadi sangat baik, sehingga menjadi agama yang dinamis dan membumi, selalu aktual di tengah-tengah masyarakat. Islam-pun menjadi agama yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan umat tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Sikap bijak tersebut memungkinkan warga NU melakukan dialog kreatif dengan budaya yang ada. Dengan dialog bisa saling memperkaya dan mengisi kelemahan masing-masing.
3. Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh
Sikap tidak apriori terhadap tradisi menjadikan warga NU bertindak selektif terhadap tradisi atau budaya. Sikap ini penting untuk menghindarkan dari sikap keberagaman yang desdruktif terhadap tradisi setempat. Sikap selektif ini mengacu pada kaidah fiqh:
مَالَايُدْرَكُ كُلُّهُ لَايُدْرَكُ كُلُّهُ
Maksudnya: Jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, maka tidak harus ditinggal semuanya.
Proses dialog memungkinkan upaya penyelarasan unsur-unsur budaya yang dianggap menyimpang dari ajaran pokok Islam. Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam, namun di dalamnya mungkin juga menyimpan butir-butir kebaikan.
Menghadapi permasalahan seperti ini, sikap arif bila tidak membuang semuanya, mempertahankan unsur-unsur kebaikan yang ada dan menyelaraskan unsur-unsur lain agar sesuai dengan ajaran Islam.
Contoh dalam hal ini slametan atau kondangan atau kenduri yang merupakan tradisi orang jawa yang ada sebelum Islam datang. Jika kelompok lain memandang sebagai bid'ah yang harus dihilangkan, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah memandangnya secara proporsional.
Di dalam slametan ada unsur-unsur kebaikan sekalipun mengandung hal-hal yang dilarang agama. Unsur kebaikan dalam slametan antara lain merekatkan persatuan di masyarakat, menjadi sarana bersedekah, dan bersyukur kepada Tuhan, serta mendo'akan orang yang sudah meninggal.
Semua tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak ada alasan untuk melenyapkannya sekalipun tidak pernah dilakukan nabi Muhammad Saw. Sementara hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya sesaji untuk makhluk halus, bisa diselaraskan dengan ajaran Islam secara perlahan dengan penuh kearifan dengan meluruskan niat lillahi ta'ala.
Sikap tersebut yang telah diteladankan oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di nusantara. Sebagai Pewaris nabi, Walisongo telah melakukan dakwah dengan pedoman yang jelas. Dalam menyikapi tradisi setempat, diilhami oleh Nabi Muhammad SAW sebagai panutannya.
Misalnya ibadah haji yang merupakan ibadah yang sudah ada sebelum kelahiran nabi, oleh beliau tidak dihilangkan namun diisi ruh tauhid yang dibersihkan dari unsur syirik. Sikap inilah yang kemudian diteruskan para sahabat, tabi'in dan para pengikutnya, termasuk Walisongo yang disebut kaum Sunni atau Ahlussunnah wal Jama'ah.
Maka tidak mengherankan jika dakwah kaum Sunni sangat berbeda dengan dakwah kaum non-Sunni. Ahlussunnah wal Jama'ah berdakwah secara arif dan bijaksana, pengikut Ahlussunnah wal Jama'ah tidak berdakwah secara destruktif atau merusak dengan menghancurkan tatanan atau segala sesuatu yang dianggap sesat.
Jika saat ini banyak dakwah yang dilakukan dengan kekerasan bahkan berlumuran darah, hal itu tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah. Pengikut Ahlussunnah wal Jama'ah melakukan dakwah bi al-hikmah, yaitu dengan bijaksana dan penuh kearifan. Terhadap tradisi yang tidak dapat diselaraskan dengan Islam, maka aktivitas dakwah yang dilakukan dengan cara damai dalam satu tatanan kehidupan yang Saling menghargai.
Beberapa kaidah fiqhiyah lain yang dikenal kaum Nahdliyin, antara lain:
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُمَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًاوَعَدَمًا
Artinya: "Sebuah keputusan itu terikat dengan sebabnya"
مَالَايَتِمُّالْوَاجِبُ اِلَّابِهِ فَهُوَوَاجِبٌ
Artinya: "Jika sebuah keharusan tidak dapat ideal kecuali dengan unsur yang lain, maka unsur yang lain itu juga menjadi keharusan "
اِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُعِيَ اَعْظَمَهُمَاضَرَرًابِارْتِكَابِ اَخَفِّهِمَا
Artinya: "Jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan, maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang terbesar dengan cara melaksanakan yang paling kecil resikonya"
دَرْءُالْمَفَاسِدِمُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya: "Mencegah marabahaya lebih diutamakan daripada meraih kebaikan"
تَصَرُّفُ الْاِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِمَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya: "Kebajikan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya"
Post a Comment for "Kaidah Fiqhiyah Tradisi dan Budaya Warga Nahdlatul Ulama"